Jumat, 04 Maret 2011

Membuahkan Klengkeng Jenis Itoh di Daerah Pati,…..Bisakah ?

Tiga tahun lebih, Mahrus, salah satu pehobies tanaman buah dari Desa Bulungan, Tayu, Pati, Jawa Tengah mencoba menanam klengkeng berbagai jenis. Lahan tak begitu luas yang dia miliki, dicoba ditanami beberapa jenis Klengkeng. Diantaranya Pingpong, Diamond River, rasa Durian dan jenis Itoh. Namun rasa penasaran terus menggelayut di benaknya. Dari berbagai jenis yang ditanam, Itohlah yang masih bandel tak mau berbuah. Yang selama ini lebat berbuah adalah Diamond River dan Pingpong. Penampilan Diamond River memang luarbiasa. Umur satu tahun sejak tanam, seluruh tajuk pohon yang masih pendek itu penuh dengan dompolan buah. Namun Diamond River yang berasal dari Vietnam itu daging buahnya tipis dan berair banyak. Rasa manisnya juga kurang. Hingga di pasaran, buah lengkeng ini tidak disukai konsumen. Tipis dan berair, mirip dengan daging buah lengkeng malang. Karenanya, lengkeng malang kurang disukai konsumen dibanding dengan lengkeng bandungan dari Jawa Tengah. Hingga harga lengkeng malang, juga tidak pernah bisa setinggi lengkeng bandungan.

Kelebihan Diamond River adalah, cepat berbuah dan buahnya sangat lebat. Kelebihan ini, tidak dimiliki oleh Pingpong yang juga berasal dari Vietnam. Produktivitas Pingpong tidak setinggi Diamond River. Meskipun umur berbuahnya sama pendek dengan Diamond River. Perbedaan Pingpong, daging buahnya tidak setipis Diamond River tapi juga terlalu berair, dan tingkat kemanisannya cukup baik. Namun satu-satunya kehebatan pingpong adalah ukuran buahnya yang  sangat besar. Lengkeng ini sampai disebut Pingpong, karena ukuran buahnya yang benar-benar besar, hingga ibaratnya seperti bola pingpong. Kelemahan Pingpong yang paling mencolok adalah, ukuran bijinya juga sangat besar. Namun lepas dari kelemahan-kelemahan tersebut, Pingpong tetap dibudidayakan di Vietnam, negeri yang juga merupakan produsen Dragon Fruit terbesar di dunia. Mahrus, Pekebun asal Bulungan Tayu Pati itu tahu kelemahan tiga varietas lengkengnya. Hingga ia pun sangat mengharapkan Itoh segera berbuah. Dengan mencoba bertanya kanan kiri, sambil sesekali browsing dari internet,  Alhasil tepat pada umur tiga setengah tahun jenis Itohnya menunjukkan hal yang diluar dugaannya. Itoh berbuah sangat lebat di daerahnya yang masih tergolong dataran rendah. Satu tangkainya bahkan bisa berbobot setengah kilogram, alhamdulillah….(tampak pada beberapa gambar).


Itoh merupakan lengkeng introduksi dari Thailand. Umur berbuahnya memang agak lebih lambat dibanding dengan Diamond River dan Pingpong. Namun Itoh memiliki banyak kelebihan. Diantaranya adalah, produktivitasnya sama baik dengan Diamond River. Ukuran buahnya lebih besar dari Diamond River, namun lebih kecil dari Pingpong. Namun biji Itoh juga sangat kecil. Hingga daging buahnya yang tebal itu menjadi tampak semakin tebal. Beda dengan daging buah Diamond River yang lembek dan berair, daging buah Itoh kering dan sangat manis. Itoh yang di Thailand disebut Idoh merupakan lengkeng sub tropis. Di Thailand, Idoh dibudidayakan di sekitar Ciang Rai yang letaknya sekitar 20° LU dan berada pada ketinggian sekitar 600 m. dpl. Untuk merangsang pertumbuhan buah, dii sentra lengkeng ini para petani Thailand terpaksa harus menerapkan sistem penyemprotan dengan air es ketika pada musim dingin, suhu tidak mau turun lebih rendah dari 14° C.

Posisi kota Hanoi di Vietnam justru lebih ke utara dibanding Ciang Rai. Pang Vao, kota paling utara di Vietnam, posisinya malahan sudah persis di garis balik utara, 23° 30 LU. Posisi ini sama dengan Taiwan tengah.. Namun Vietnam juga mengembangkan komoditas lengkeng ini di kawasan selatan yang sangat tropis. Apa yang dilakukan Vietnam ini, sama dengan yang dilakukan oleh India ketika mengembangkan gandum. Di India, gandum hanya bisa tumbuh di kawasan sub tropis, di sebelah utara garis balik, disekitar kota New Delhi. Namun pelan-pelan India menggeser lokasi penanaman gandumnya hingga mereka bisa mengembangkan gandum di kawasan tropisnya. Yang dilakukan Vietnam dengan lengkeng seperti India memperlakukan gandum. Hingga Vietnam pun berhasil memiliki verietas lengkeng tropis. Itoh, bagaimana pun tetap varietas lengkeng sub tropis. Sama halnya dengan Kohala yang dikembangkan oleh Hawii dan Florida (AS). Namun Thailand, akhir-akhir ini mampu membuahkan Itoh alias Idoh di kawasan tropis (dataran rendah) di sekitar Bangkok.


Sukses Thailand membuahkan lengkeng di dataran rendah, tidak lepas dari suatu ketidak sengajaan. Ceritanya, ada sebuah gudang bahan potasium klorat (KCLO3) untuk bahan petasan di Ciang Rai yang meledak. Kebetulan gudang tersebut berada di tengah-tengah kebun lengkeng. Pasca ledakan, lengkeng di kebun tersebut berbuah dengan sangat lebatnya, tanpa perlu perlakuan penyemprotan air es. Para pakar pertanian Thailand pun segera melakukan penelitian. Di Ciang Rai, ternyata ada beberapa gudang Potasium Klorat yang berada di tengah-tengah kebun lengkeng. Setelah diteliti, tanaman lengkeng di sekitar gudang tersebut, selalu berbuah lebat. Padahal tanaman di lokasi yang sama, tetapi jauh dari gudang tersebut, tidak berbuah. Kemudian penelitian pun dilanjutkan, hingga ketahuan bahwa faktor O3 (ozone) yang memicu pembuahan lengkeng. Sebab KCLnya sendiri (Potasium Klorida) sudah biasa digunakan sebagai pupuk Kalium (K). Penelitian menghasilkan berbagai dosis tepat dan cara aplikasi pemanfaatan KCLO3 dalam budidaya lengkeng.

Thailand tidak hanya berhenti sampai di sini. Aplikasi KCLO3 juga mereka terapkan untuk membuahkan Idoh di sekitar Bangkok. Upaya ini ternyata berhasil. Inilah yang banyak dilihat oleh para penangkar benih di Malaysia, khususnya di Kuching, Negara Bagian Serawak. Mereka segera mengintroduksi Itoh sebanyak mungkin. Ternyata di Serawak, kemudian juga di Kalbar, Itoh tetap tidak kunjung berbuah. Padahal para penangkar tersebut sangat berharap agar Itoh mereka berbuah. Sebab dibanding dengan Pingpong, terlebih dengan Diamond River, Itoh lebih banyak memiliki sifat-sihat unggul. Satu-satunya kelemahan adalah lambannya berbuah. Para penangkar di Serawak, tidak pernah tahu bahwa Itoh yang berbuah lebat di kawasan dataran rendah di Thailand, merupakan akibat dari perlakuan KCLO3. Bagaimanakah dengan prospek lengkeng di Indonesia?

 

Sejak adanya publisitas tentang kehebatan Diamond River dan Pingpong, maka euforia untuk budidaya lengkeng dataran rendah menghebat. Harga benih melambung ke tingkat Rp 400.000,- per polybag. Meskipun sekarang telah turun ke tingkat Rp 150.000,- Publisitas tentang Diamond River dan Pingpong, sayangnya tidak pernah menyebutkan berbagai kelemahannya. Para penangkar benih seperti halnya Pak Prakoso dari Demak, sangat memanfaatkan euforia ini. Para penangkar tidak pernah memberitahu calon pekebun, bahwa Diamond River hanya cocok untuk tanaman pot atau tanaman pekarangan. Bukan untuk dikebunkan secara komersial. Kalau Diamond River dipaksa untuk dikebunkan secara komersial, nasibnya akan sama dengan lengkeng malang yang selalu kalah bersaing dengan lengkeng Bandungan. Informasi tentang KCLO3 pun juga masih belum bisa sampai ke para calon pekebun tersebut. Padahal, info ini sudah sejak beberapa waktu berselang tampil di layar internet. Bahkan para pekebun di Florida pun, sudah mulai mengaplikasikan teknologi ini untuk kebun lengkeng mereka.

Sebenarnya, yang dilakukan oleh Vietnam, secara tidak sengaja dan tidak sistematis, juga telah terjadi di Indonesia. Sejak tahun 1980an, sudah mulai ada upaya untuk membudidayakan lengkeng di dataran rendah. Upaya ini antara lain dilakukan di Kab. Bantul DIY. Di Bantul, lengkeng sudah mau berbuah, meskipun masih belum bisa dibuktikan secara ilmiah. Ketika harga kopi membaik, para petani di Pagaralam, Sumatera Selatan, juga beramai-ramai menanam kopi robusta. Sebagai pembatas, mereka pun menanam lengkeng. Pagaralam merupakan kawasan dataran tinggi di Sumsel, hingga lengkeng itu pun bisa berbuah dengan cukup baik. Iseng-iseng banyak warga masyarakat yang mencoba menanam lengkeng di lokasi dataran rendah, termasuk di Kota Palembang. Salah satunya adalah Sugiri. Di luar dugaan, ada satu individu tanaman yang menyimpang (mengalami mutasi) akibat pengaruh agroklimat setempat. Klon yang mengalami mutasi di Bantul DIY, disebut sebagai varietas Selarong, sementara yang mengalami mutasi di Palembang disebut varietas Sugiri, sesuai dengan nama pemilik pohon.


Varietas Sugiri, memiliki ciri-ciri buah persis sama dengan lengkeng sub tropis atau lengkeng dataran tinggi. Yakni ukuran buah besar, kulit tipis, biji kecil, daging buah tebal dan kering hingga rasanya sangat manis. Namun varietas lengkeng lokal ini juga bisa berbuah dengan cepat seperti halnya Diamond River tanpa perlakuan KCLO3. Kelebatan buahnya juga tidak kalah. Keunggulan lengkeng Sugiri ini sudah dibuktikan di sebuah kebun di Lampung. Namun popularitas Sugiri, jelas kalah jauh dibanding dengan Diamond River dan Pingpong. Beberapa kelemahan Sugiri adalah, lengkeng ini belum pernah mengalami uji multi lokasi. Selama ini baru terbukti berbuah di Palembang dan Lampung. Sementara Diamond River dan Pingpong sudah terbukti mampu beradaptasi diberbagai lokasi dengan berbagai variasi agroklimat. Saat ini, Taman Buah Mekarsari bekerjasama dengan Deptan sedang berupaya untuk mengoleksi varietas-varietas lengkeng yang ada. Sementara Balai Penelitian Buah (Balitbu) di Solok, Sumatera Barat, telah memiliki koleksi lebih dari 30 varietas lengkeng dari berbagai lokasi, termasuk yang introduksi dari luar negeri. Koleksi lengkeng Balitbu ini juga sudah dilengkapi dengan protokol DNAnya.


Semoga euforia gandrung klengkeng bermacam jenis ini menjadi inspirasi para tani yang lain untuk serius mengembangkan. Sehingga bidang pertanian yang selama ini termajinalkan dibanding bidang-bidang usaha lain, suatu saat akan mengangkat tarap hidup mereka ke yang lebih baik.

Berminat ?  kunjungi langsung ke Desa Bulungan Kec. Tayu Kab. Pati, Jawa Tengah, agar yakin bahwa nun jauh di pelosok sana, Pak Mahrus ternyata telah berani bereksperimen dengan tanaman alternatif.